Aroma pergantian tahun kembali mengukir sejuta
cerita. Pergeseran tahun dari tahun 2011 ke tahun 2012 meninggalkan berbagai
cerita dan kenangan, tak terkecuali buat Universitas Negeri Makassar (UNM).
Institusi yang dulunya dikenal dengan nama IKIP ini mempunyai beragam cerita
dan history yang telah diukir di tahun 2011 yang lalu. Mulai dari torehan
cerita yang membanggakan maupun sejarah kelam yang menyelimuti civitas
akademika di kampus “Oemar Bakri “ ini. Tak dapat dipungkiri bahwa UNM yang
dikenal sebagai institusi pencetak tenaga pengajar handal ini memang mengalami
beragam konflik dan permasalahan internal sepanjang tahun 2011 lalu.
Sekilas terlihat secara fisik, pembangunan sejumlah gedung pencakar langit yang ditancapkan sebagai salah satu sarana menuju the world class university memang sangatlah membanggakan. Betapa tidak, gedung-gedung baru ini didesain sedemikian rupa oleh arsitek-arsitek terkenal dengan sentuhan modern namun tetap menggambarkan kearifan budaya lokal didalamnya. Sebutlah, Menara Pinisi yang pembangunannya menelan dana yang tidak sedikit. Pembangunan gedung megah yang nantinya akan menjadi land mark UNM ini bahkan diklaim sebagai satu-satunya yang ada di Indonesia. Belum rampung pembangunan Menara Pinisi ini, UNM sudah merencanakan pembangunan beberapa gedung pencakar langit lainnya. Tersebutlah Menara Tellu Cappa Pascasarjana (12 lantai), Gedung 13 lantai FMIPA, Gedung 12 lantai FE dan Gedung 7 lantai FIS. Pembangunan gedung-gedung baru tersebut tentunya memakan banyak biaya dan memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Tapi siapa sangka, usut punya usut
ternyata belakangan pembangunan gedung-gedung ini terbentur pada permasalahan
izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Badan Lingkungan Hidup Daerah
(BLHD) Kota Makassar menyebut pihak UNM melaksanakan pembangunan tanpa
mengantongi izin AMDAL, meskipun kemudian dibantah oleh pihak rektorat yang
mengklaim telah memiliki izin AMDAL karena pembangunan gedung tersebut sudah
melalui tahapan administratif.
Pembangunan gedung-gedung megah yang
dprioritaskan UNM tersebut bukannya tidak menuai banyak kontoversi dikalangan
civitas akademika UNM itu sendiri. Banyak kalangan yang menilai bahwa
pembangunan fisik itu harusnya dijalankan beriringan dengan aspek-aspek
lainnya, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) dan masalah administrasi. Tak jarang
juga yang mengeluhkan pembangunan berbagai gedung baru tersebut. Menurut mereka
perbaikan ruangan perkuliahan harusnya lebih diprioritaskan ketimbang membangun
gedung supermegah yang tak substansial dan bahkan fasilitasnya belum tentu bisa
dinikmati oleh seluruh mahasiswa UNM.
Ironi kedua muncul ketika Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) beberapa waktu yang lalu merilis
sejumlah prodi di UNM yang akreditasinya sudah memasuki tahap kadaluarsa.
Selain prodi yang akreditasinya kadaluarsa, akreditasi universitas juga
tergolong sangat rendah, yakni C. Sebanyak 24 prodi di UNM dinyatakan
kadaluarsa dan diwajibkan melakukan akreditasi ulang. Ancamannya jelas, bagi
prodi yang tidak segera melakukan akreditasi ulang maka tidak diperbolehkan
untuk mengeluarkan ijazah mengingat bahwa pengeluaran ijazah tanpa akreditasi
prodi bersangkutan hukumannya adalah tindak pidana. Di mata masyarakat awam
institusi ini bolehlah memiliki penilaian yang baik, namun apa jadinya jika
kenyataan yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alumni
UNM terancam tidak dapat bersaing dengan alumni institusi lain terutama dalam
dunia kerja. Belum lagi terungkapnya beberapa kasus pemalsuan ijazah UNM yang
merebak belakangan ini tentunya memberikan dampak negatif yang sangat merugikan
institusi mantan IKIP ini.
Menyinggung soal Lembaga Kemahasiswaan
(LK) di UNM, maka sepertinya pantas kita menyebut bahwa tahun 2011 adalah tahun
dengan sejarah kelam nan pahit bagi semua insan-insan yang berkecimpung dalam
LK. Betapa tidak, LK UNM sepertinya perlahan tapi pasti akan kehilangan
eksistensinya. Kampus UNM tak lagi ramah dan bersahabat bagi fungsionaris LK.
Hak kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berekspresi yang merupakan sesuatu
yang mutlak tak lagi mendapat tempat di kampus “Orange” ini. Kampus, masihkah
demokratis? Pertanyaan itu masih terus menggelayut dibenak insan-insan kritis
institusi “Oemar Bakri” ini sampai sekarang. Nasib Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) UNM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MAPERWA) UNM periode 2011-2012
juga masih terkatung-katung disebabkan karena pelantikan dua lembaga tinggi
universitas ini belum jelas kapan akan dilaksanakan. Selain itu, masih teringat
jelas pembekuan seluruh LK di Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) karena dianggap
telah menentang sejumlah kebijakan dari pihak rektorat. Amunisi ini terbilang
ampuh untuk mematikan pergerakan di Kampus Ungu yang memang dikenal sebagai
kiblat pergerakan di UNM.
Seiring dengan pembekuan LK
tersebut, satu kejutan besar juga diberikan pihak birokrasi kita terhadap 19
mahasiswa FBS yang di Drop Out (DO) karena dianggap tidak mematuhi titah sang
pimpinan dengan melaksanakan penyambutan mahasiswa baru 2011 atau Pelana (Pekan
Pengenalan Akademik). Pihak mahasiswa mengklaim bahwa penjatuhan sanksi
tersebut cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam
statuta UNM yang berlaku, namun apa daya pihak mereka hanya bisa bungkam untuk
menghindari ancaman selanjutnya. Obral DO tidak hanya berhenti sampai disitu,
sembilan mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) juga terancam didepak dari UNM karena
menuntut transparansi Dana Penunjang Pendidikan (DPP). Meski sampai sekarang SK
pemecatan mahasiswa FE tersebut belum dikeluarkan tapi itu sudah cukup
menggambarkan bahwa sebagian pihak birokrasi sudah kehilangan hati nuraninya
sebagai orangtua.
Dibalik semua masalah diatas, juga
terselip berbagai macam torehan prestasi dan perkembangan yang berhasil dicapai
UNM sepanjang tahun 2011. Selain kebanggaan akan tertancapnya sejumlah gedung
supermegah yang sementara dalam tahap perampungan, pengembangan SDM kampus
dengan berbasis IT juga patut kita acungi jempol. Perbaikan jaringan internet
UNM dengan menggunakan Fiber Optik (FO) semakin memudahkan akses internet bagi
para civitas akademika institusi ini. Berbagai bentuk kerja sama yang dijalin
dengan pihak luar utamanya dari pihak
asing membuktikan keseriusan UNM dalam mengembangkan percepatan dan mutu
pendidikan. Sepanjang tahun 2011, UNM juga banyak melakukan berbagai terobosan
dalam hal pengembangan kewirausahaan bagi para mahasiswa yang tertarik untuk
menjadi pebisnis. Hal ini sangat membantu para mahasiswa untuk berkreasi dan
melakukan berbagai kegiatan yang positif diluar tugas utama mereka sebagai
pelajar.
Satu hal yang juga patut
digarisbawahi bahwa sepanjang tahun 2011 intensitas tawuran yang melibatkan
mahasiswa UNM menurun drastis dari tahun sebelumnya. Ini cukup menjadi bukti
bahwa mahasiswa UNM sudah semakin dewasa dalam menanggapi berbagai fenomena kampus
yang terjadi. Semoga saja imej sebagai arena tawuran yang selama ini melekat di
kampus tercinta kita bisa sedikit demi sedikit terkikis berganti dengan nuansa
intelektual yang menjadi kodrat sebuah institusi perguruan tinggi. Hal ini
tentunya akan dapat memperbaiki citra kampus kita di mata masyarakat luas bahwa
UNM tidak lagi terkenal dengan konfliknya tetapi akan dikenal dengan ukiran dan
torehan prestasi akademik yang cemerlang. Sebagai bukti di tahun 2011 yang lalu
dua mahasiswa FBS UNM berhasil mengukir prestasi gemilang dalam ajang Pemilihan
Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang diadakan oleh LIPI. Adalah Akhmad Affandi
dan Hikmawati Sabar yang berhasil meraih gelar juara III nasional dalam ajang
bergengsi tersebut dengan naskah penelitiannya yang berjudul “Perilaku Sosial
Politik Towani Tolotang (Potret Perjuangan Masyarakat Towani Tolotang)”.
Tahun baru 2012 tentunya akan
menghadirkan suasana baru dalam iklim institusi UNM. Ditengah hingar-bingar
suksesi Rektor UNM yang akan segera dihelat tentunya menimbulkan secercah
harapan baru bagi para civitas akademika UNM. Pesta demokrasi yang dihelat
setiap empat tahunan ini diharapkan bisa melahirkan sosok pemimpin yang
betul-betul tahu dan mengerti arti sebuah kepemimpinan bukan hanya sebagai simbol
yang bertopengkan aroma kepentingan dan muara politik dari pihak-pihak tertentu
saja. Dambaan pemimpin yang amanah dan bertanggungjawab serta bisa berperan
sebagai fasilitator layaknya orangtua sangat dirindukan oleh semua elemen
institusi ini. Pemimpin yang mampu menciptakan suasana kampus UNM yang kondusif
dan bersahabat bukan hanya bagi pihak
birokrasi melainkan juga bagi seluruh mahasiswa sebagai elemen terbesar dalam
institusi kita. Pemimpin yang bisa berbaur untuk mendengarkan aspirasi
rakyatnya bukan pemimpin yang cenderung menutup mata terhadap bawahannya karena
sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mendengarkan rakyatnya. SEMOGA!!!.(Rizal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar