Pages

Senin, 08 Desember 2014

REFLEKSI PROBLEMATIKA DIBALIK GEMERLAP ARTIFISIAL



Aroma pergantian tahun kembali mengukir sejuta cerita. Pergeseran tahun dari tahun 2011 ke tahun 2012 meninggalkan berbagai cerita dan kenangan, tak terkecuali buat Universitas Negeri Makassar (UNM). Institusi yang dulunya dikenal dengan nama IKIP ini mempunyai beragam cerita dan history yang telah diukir di tahun 2011 yang lalu. Mulai dari torehan cerita yang membanggakan maupun sejarah kelam yang menyelimuti civitas akademika di kampus “Oemar Bakri “ ini. Tak dapat dipungkiri bahwa UNM yang dikenal sebagai institusi pencetak tenaga pengajar handal ini memang mengalami beragam konflik dan permasalahan internal sepanjang tahun 2011 lalu.
           
Sekilas terlihat secara fisik, pembangunan sejumlah gedung pencakar langit yang ditancapkan sebagai salah satu sarana menuju the world class university memang sangatlah membanggakan. Betapa tidak, gedung-gedung baru ini didesain sedemikian rupa oleh arsitek-arsitek terkenal dengan sentuhan modern namun tetap menggambarkan kearifan budaya lokal didalamnya. Sebutlah, Menara Pinisi yang pembangunannya menelan dana yang tidak sedikit. Pembangunan gedung megah yang nantinya akan menjadi land mark UNM ini bahkan diklaim sebagai satu-satunya yang ada di Indonesia. Belum rampung pembangunan Menara Pinisi ini, UNM sudah merencanakan pembangunan beberapa gedung pencakar langit lainnya. Tersebutlah Menara Tellu Cappa Pascasarjana (12 lantai), Gedung 13 lantai FMIPA, Gedung 12 lantai FE dan Gedung 7 lantai FIS. Pembangunan gedung-gedung baru tersebut tentunya memakan banyak biaya dan memerlukan waktu yang tidak sedikit.
            Tapi siapa sangka, usut punya usut ternyata belakangan pembangunan gedung-gedung ini terbentur pada permasalahan izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar menyebut pihak UNM melaksanakan pembangunan tanpa mengantongi izin AMDAL, meskipun kemudian dibantah oleh pihak rektorat yang mengklaim telah memiliki izin AMDAL karena pembangunan gedung tersebut sudah melalui tahapan administratif.
            Pembangunan gedung-gedung megah yang dprioritaskan UNM tersebut bukannya tidak menuai banyak kontoversi dikalangan civitas akademika UNM itu sendiri. Banyak kalangan yang menilai bahwa pembangunan fisik itu harusnya dijalankan beriringan dengan aspek-aspek lainnya, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) dan masalah administrasi. Tak jarang juga yang mengeluhkan pembangunan berbagai gedung baru tersebut. Menurut mereka perbaikan ruangan perkuliahan harusnya lebih diprioritaskan ketimbang membangun gedung supermegah yang tak substansial dan bahkan fasilitasnya belum tentu bisa dinikmati oleh seluruh mahasiswa UNM.
            Ironi kedua muncul ketika Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) beberapa waktu yang lalu merilis sejumlah prodi di UNM yang akreditasinya sudah memasuki tahap kadaluarsa. Selain prodi yang akreditasinya kadaluarsa, akreditasi universitas juga tergolong sangat rendah, yakni C. Sebanyak 24 prodi di UNM dinyatakan kadaluarsa dan diwajibkan melakukan akreditasi ulang. Ancamannya jelas, bagi prodi yang tidak segera melakukan akreditasi ulang maka tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan ijazah mengingat bahwa pengeluaran ijazah tanpa akreditasi prodi bersangkutan hukumannya adalah tindak pidana. Di mata masyarakat awam institusi ini bolehlah memiliki penilaian yang baik, namun apa jadinya jika kenyataan yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alumni UNM terancam tidak dapat bersaing dengan alumni institusi lain terutama dalam dunia kerja. Belum lagi terungkapnya beberapa kasus pemalsuan ijazah UNM yang merebak belakangan ini tentunya memberikan dampak negatif yang sangat merugikan institusi mantan IKIP ini.  
            Menyinggung soal Lembaga Kemahasiswaan (LK) di UNM, maka sepertinya pantas kita menyebut bahwa tahun 2011 adalah tahun dengan sejarah kelam nan pahit bagi semua insan-insan yang berkecimpung dalam LK. Betapa tidak, LK UNM sepertinya perlahan tapi pasti akan kehilangan eksistensinya. Kampus UNM tak lagi ramah dan bersahabat bagi fungsionaris LK. Hak kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berekspresi yang merupakan sesuatu yang mutlak tak lagi mendapat tempat di kampus “Orange” ini. Kampus, masihkah demokratis? Pertanyaan itu masih terus menggelayut dibenak insan-insan kritis institusi “Oemar Bakri” ini sampai sekarang. Nasib Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MAPERWA) UNM periode 2011-2012 juga masih terkatung-katung disebabkan karena pelantikan dua lembaga tinggi universitas ini belum jelas kapan akan dilaksanakan. Selain itu, masih teringat jelas pembekuan seluruh LK di Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) karena dianggap telah menentang sejumlah kebijakan dari pihak rektorat. Amunisi ini terbilang ampuh untuk mematikan pergerakan di Kampus Ungu yang memang dikenal sebagai kiblat pergerakan di UNM.
            Seiring dengan pembekuan LK tersebut, satu kejutan besar juga diberikan pihak birokrasi kita terhadap 19 mahasiswa FBS yang di Drop Out (DO) karena dianggap tidak mematuhi titah sang pimpinan dengan melaksanakan penyambutan mahasiswa baru 2011 atau Pelana (Pekan Pengenalan Akademik). Pihak mahasiswa mengklaim bahwa penjatuhan sanksi tersebut cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam statuta UNM yang berlaku, namun apa daya pihak mereka hanya bisa bungkam untuk menghindari ancaman selanjutnya. Obral DO tidak hanya berhenti sampai disitu, sembilan mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) juga terancam didepak dari UNM karena menuntut transparansi Dana Penunjang Pendidikan (DPP). Meski sampai sekarang SK pemecatan mahasiswa FE tersebut belum dikeluarkan tapi itu sudah cukup menggambarkan bahwa sebagian pihak birokrasi sudah kehilangan hati nuraninya sebagai orangtua.
            Dibalik semua masalah diatas, juga terselip berbagai macam torehan prestasi dan perkembangan yang berhasil dicapai UNM sepanjang tahun 2011. Selain kebanggaan akan tertancapnya sejumlah gedung supermegah yang sementara dalam tahap perampungan, pengembangan SDM kampus dengan berbasis IT juga patut kita acungi jempol. Perbaikan jaringan internet UNM dengan menggunakan Fiber Optik (FO) semakin memudahkan akses internet bagi para civitas akademika institusi ini. Berbagai bentuk kerja sama yang dijalin dengan pihak luar utamanya dari pihak  asing membuktikan keseriusan UNM dalam mengembangkan percepatan dan mutu pendidikan. Sepanjang tahun 2011, UNM juga banyak melakukan berbagai terobosan dalam hal pengembangan kewirausahaan bagi para mahasiswa yang tertarik untuk menjadi pebisnis. Hal ini sangat membantu para mahasiswa untuk berkreasi dan melakukan berbagai kegiatan yang positif diluar tugas utama mereka sebagai pelajar.
            Satu hal yang juga patut digarisbawahi bahwa sepanjang tahun 2011 intensitas tawuran yang melibatkan mahasiswa UNM menurun drastis dari tahun sebelumnya. Ini cukup menjadi bukti bahwa mahasiswa UNM sudah semakin dewasa dalam menanggapi berbagai fenomena kampus yang terjadi. Semoga saja imej sebagai arena tawuran yang selama ini melekat di kampus tercinta kita bisa sedikit demi sedikit terkikis berganti dengan nuansa intelektual yang menjadi kodrat sebuah institusi perguruan tinggi. Hal ini tentunya akan dapat memperbaiki citra kampus kita di mata masyarakat luas bahwa UNM tidak lagi terkenal dengan konfliknya tetapi akan dikenal dengan ukiran dan torehan prestasi akademik yang cemerlang. Sebagai bukti di tahun 2011 yang lalu dua mahasiswa FBS UNM berhasil mengukir prestasi gemilang dalam ajang Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang diadakan oleh LIPI. Adalah Akhmad Affandi dan Hikmawati Sabar yang berhasil meraih gelar juara III nasional dalam ajang bergengsi tersebut dengan naskah penelitiannya yang berjudul “Perilaku Sosial Politik Towani Tolotang (Potret Perjuangan Masyarakat Towani Tolotang)”.
            Tahun baru 2012 tentunya akan menghadirkan suasana baru dalam iklim institusi UNM. Ditengah hingar-bingar suksesi Rektor UNM yang akan segera dihelat tentunya menimbulkan secercah harapan baru bagi para civitas akademika UNM. Pesta demokrasi yang dihelat setiap empat tahunan ini diharapkan bisa melahirkan sosok pemimpin yang betul-betul tahu dan mengerti arti sebuah kepemimpinan bukan hanya sebagai simbol yang bertopengkan aroma kepentingan dan muara politik dari pihak-pihak tertentu saja. Dambaan pemimpin yang amanah dan bertanggungjawab serta bisa berperan sebagai fasilitator layaknya orangtua sangat dirindukan oleh semua elemen institusi ini. Pemimpin yang mampu menciptakan suasana kampus UNM yang kondusif dan  bersahabat bukan hanya bagi pihak birokrasi melainkan juga bagi seluruh mahasiswa sebagai elemen terbesar dalam institusi kita. Pemimpin yang bisa berbaur untuk mendengarkan aspirasi rakyatnya bukan pemimpin yang cenderung menutup mata terhadap bawahannya karena sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mendengarkan rakyatnya. SEMOGA!!!.(Rizal)
Penulis adalah eks Ketua Umum HMPS ACCESS FBS UNM Periode 2011-2012.

                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar